Senin, 03 Desember 2012

Touring Akhir Tahun, Tour D'Jatiluhur




Menyambut akhir tahun, Natural Bikers Community akan mengadakan Tour Akhir Tahun dengan tema Tour D'Jatiluhur. Tema ini di pilih dengan berbagai pertimbangan, selain karena lokasi ini banyak menyuguhkan pemandangan alam yang luar biasa, juga secara jarak tidak terlalu jauh.
Buruan siapa saja boleh ikut dalam tour ini, jenis sepeda motor apapun boleh meramaikan, dengan syarat memiliki kelengkapan berkendara (SIM) dan surat menyurat motor yang lengkap. Juga pastikan motor dalam kondisi yang prima dan mengikuti aturan konvoi yang aman
Pendaftaran ke :
EKO YUNIANTO (IT) : 083873275503
BAGUS SETYO (GA) : 085692058860
SURYANA (FA) : 081381158156
ACHMAD GUNAWAN (UT) : 08568885553
MANG JONI (QA) : 083894722021

Sabtu, 17 November 2012

Pantai Jayanti, Cianjur Selatan

Kali ini saya akan ceritakan perjalanan saya yang paling baru, yaitu ke Pantai Jayanti, Cidaun, Cianjur Selatan. Sebelumnya sebenarnya sempat ragu untuk berangkat karena sorenya hujan sangat deras, kuatir jalan tidak aman karena rencana jalur yang akan saya lewati dibeberapa titik rawan longsor. Tapi setelah sampai jam sebelas malam langit cerah, maka saya pastikan tetap jalan.

Seperti  biasa saya berdua dengan teman, berangkat jam 2 pagi, hari Sabtu 17 November. Jalur yang saya rencanakan  berangkat lewat Bogor, terus ke Cipanas lewat jalan raya Puncak Cipnas, turun ke Cianjur kemudian ke arah Cipetir, Campaka, menuju Sukanagara terus ke arah Sirnagalih, berakhir di Cidaun.

Pantai Jayanti sendiri sebenarnya sebuah dermaga, tempat berlabuh nelayan. Terletak sekitar 140 km ke selatan dari kota Cianjur, masuk ke kecamatan Cidaun. Yang menarik dari pantai ini adalah kondisinya yang masih alami dan berdekatan dengan cagar alam Bojonglarang. Dan bagi saya, hal menarik lainnya disana kita bisa beli ikan dari nelayan, dan dengan membayar sekitar lima belas ribu rupiah untuk jasa bakarnya, kita sudah bisa menikmati ikan bakar yang gurih karena ikannya benar-benar masih baru dari laut.

Pantai Jayanti masih belum mengalami banyak pengembangan dari tahun 80-an, tidak seperti pantai lain di jawa barat, misalnya pantaai Pangandaran di Ciamis dan juga pantai Pelabuhan Ratu di Sukabumi. namun begitu, bagi anda yang menginginkan menginap, di sekitar pantai juga tersedia penginapan dengan tarif antara seratus sampai dua ratus ribu.

Jalan menuju Cidaun yang melalui kota Cianjur, relatif bagus walaupun terdapat beberapa titik yang rusak. Untuk saat ini karena musim hujan, hal yang harus di waspadai adalah beberapa ruas jalan yang rawan longsor.

Disarankan untuk memastikan kondisi kendaraan sebelum menuju ke Cidaun karena medan jalan yang penuh tanjakan dan kelokan hampir di sepanjang perjalanan.

Untuk pulangnya, saya mencoba jalur lain yaitu Cidaun arah Tegalbuleud, terus ke Surade lanjut Jampang terus ke Cibadak dan berlanjut ke Ciawi melalui kota Bogor dan kembali ke Base camp di Villa Nusa Indah.

Jalur ini sepanjang Cidaun - Tegalbuleud didominasi dengan kebun kelapa dan karet. Dan jalannya walau sudah aspal, tetapi tinggal bekasnya alias rusak sehingga perlu kesabaran karena kalau tidak bahaya tergelincir bisa menghampiri kita.

Untuk perjalan kemarin, berangkat di odometer menunjukkan angka 221 km dan pulangnya lebih panjang, 355 km jadi total perjalanan 576 km yang kami tempuh dalam waktu 19 jam.    

Senin, 21 Mei 2012

Tour Jatim 2

Rencana awal, kita menginap di rumah saya. Bagaimanapun juga perjalanan nonstop Jogja - Tulungagung sangat melelahkan. Tapi tiba-tiba karena ada keperluan mendadak temaan seperjalanan, kita merubah rencana menjadi pulang ke Jakarta hari itu juga.
Jam 6 sore kita sudah mulai packing. Semua barang sudah tertata rapi di motor. Hujan tidak juga reda, sampai tepat jam 7 malam, hari jumat kita memulai perjalanan pulang ke Jakarta.
Rencananya, kali ini dengan perjalanan malam, kita lewat jalur Pantura. Dari Tulungagung kita ke utara arah Kediri, kemudian ke Nganjuk.
Begitu keluar rumah saja kita sudah di hadang hujan yang sangat deras, sampai di Ngunut, sebuah kota kecamatan sebelum Tulungagung, jalanan tergenang cukup menyulitkan untuk motor pendek Mio. Namun karena kita sudah bertekad, perjalanan tetap kita lanjutkan.
Tulunggung - Kediri sudah lewat, dan tak terasa Nganjuk pun sudah kita lewati. Jam menunjukkan pukul 23.35 ketika tiba-tiba kita merasa sepi sekali.Bus dan truk pun hanya sesekali yang berpapasan atau kita dahului. Suasana begitu gelap karena habis hujan, dan jalanan basah juga membut kita mengurangi laju motor.
Dan tiba-tiba saya menyadari berada di tengah-tengah hutan, ya, kita sudah sampai hutan Saradan.Alas Saradan, begitulah orang biasa menyebutnya. Sebuah hutan yang dibelah jalan di perbatasan Nganjuk-Madiun. Saya sering denger kisah tragis yang terjadi di kawasan ini, mulai dari kecelakaan, perampokan bahkan pemerkosaan dan pembunuhan. Dahulu, kata banyak orang, melewati hutan ini secara sendiri apalagi di gelapnya malam tak ubahnya menyetorkan nyawa ke penjagalan. Makin merinding saja ketika cerita-cerita mengenai alas saradan ini berkecamuk di fikiranku.
Apalagi, siangnya waktu dirumah saya sempat nonton berita di tivi,terjadi kecelakaan yang sangat hebat di jalan ini, antara sebuah bus malam dengan sepeda motor. Kecelakaan yang mengakibatkan tewasnya pengendara motor karena tubuhnya hancur tercecer dan terpotong menjadi beberapa bagian. Duh, kenapa pas tengah malam begini sampai di hutan saradannya.
Tapi akhirnya kita lepas juga dari dalam hutan dan memasuki kota Ngawi. Karena tidak ada kendala, dan mata juga belum ngantuk, kita memutuskan tetap melanjutkan perjalanan. Motor kita bawa ke arah Sragen. Dan sekali lagi kita melewati hutan lagi, yaitu hutan Mantingan. Tapi entah kenapa rasanya tidak seperti waktu lewat hutan Saradan sebelumnya. Dan Sragen pun sudah kita lewati.
Rasanya kalau Sragen sudah lewat, Surakarta sudah dekat. Kita masuk Surakarta, atau Solo, sekitar jam 2 subuh. Walaupun masih subuh, kota Solo masih cukup "hidup" dengan lampu warna-warni yang menghiasi jalan sepanjang kota. Keluar dari kota Solo, memasuki Boyolali. Ada kejadian lucu, saat melintas di jalan kota Boyolali yang baru, ada Cewek juga naik motor, agak heran juga sih ada cewek sendirian subuh-subuh. Naluri laki-laki bicara, kita deketin tuh motor cewek, tapi pas sudah deket, ternyata wanita jadi-jadian alias waria alias wanita setengah pria, glek! Tancap gaaass!
Sampai di kota Salatiga mata sudah ga mampu melek lagi. Akhirnya kita berhenti di sebuah pompa bensin yang buka 24 jam, kita memejamkan mata sejenak. Setelah rasanya cukup, kita melanjutkan perjalanan menuju Semarang. Jam 04.30 kita sampai di Semarang.
Di Semarang kita istirahat lagi, dan mampir di Vihara Sam Poo Kong. Sambil melemaskan otot, kita sempet foto-foto. Sebenarnya sambil cari Sarapan, tapi mungkin karena masih terlalu pagi, belum ada orang jual makanan.
Setelah istirahat kita melanjutkan lagi perjalanan ke arah Pekalongan. Tapi saat melintas di Hutan Roban (Alas Roban di antara Gringsing dan Batang) rasa kantuk kembali menyerang dan kita istirahat untuk minum segelas kopi bareng dengan para supir truk yang juga istirahat.
Selanjutnya kita langsung tancap gas ke arah Cirebon, dan berhenti hanya untuk isi bensin si Mio. Dan sekitar jam 11.30 siang kita sudah memasuki kota Cirebon, dan makan empal gentong yang terkenal. Walaupun menurut saya sama saja dengan soto betawi ha..ha...
Dan setelah sekitar empat jam perjalanan dari cirebon, jam empat sore, hari Sabtu saya sampai di base camp, Villa Nusa Indah kembali dengan selamat.

Touring Ke Jawa Timur : Bagian 1

Minggu, 20 Mei 2012

Tour Jatim 1

Rabu, 16 Mei 2012, Jam 2 pagi saya sudah siap-siap di Yellowgate Vila Nusa indah 2, Jatiasih Bekasi. PZZO saya sudah siap dengan bawaan satu tas yang saya ikat di jok belakang. Disana sudah menunggu satu motor lagi, Yamaha Mio, yap, yamaha Mio yang akan menemani PZZO menuju tujuan yang di rencanakan yaitu ke Tulungagung, Jawa Timur. Akhirnya setelah memperbincangkan rute, kamipun berangkat mengawali touring D'Jatim. Karena masih pagi menjelang subuh, jalanan masih relatif sepi sehingga kita langsung melaju menyusuri jalur lama bekasi - kerawang. Dan ketika di kerawang barulah kita bertemu rombongan touring lainnya dari berbagai motor.
Sampai di Indramayu, si Mio ada masalah yaitu tiba-tiba kehilangan tenaga. Dan setelah mampir di bengkel pinggir jalan, ternyata selang angin dari Silinder head yang menuju ke Filter udara putus, dan akhirnya diakalin oleh bengkel sampai motor kembali normal lagi untuk melanjutkan perjalanan.
Jam 10 pagi kita sampai di Ketanggungan dan menyempatkan diri untuk sarapan pagi, Soto ayam dengan sambal yang cukup pedas, cukup untuk membuat mata melek untuk melanjutkan perjalanan ke arah Jogja. Jalan Ketanggungan - Mergasari ini penuh dengan lobang-lobang menganga sehingga bisa membahayakan pemotor seperti saya.
Tapi dengan semangat kita tetap waspada melewati Tonjong kemudian Bumiayu lanjut Paguyangan dan sampai ke Wangon akhirnya kita putuskan untuk istirahat lagi, sambil tiduran sebentar. Kemudian perjalanan kita lanjutkan untuk menyusuri rute Wangon - Sumpiuh - Kebumen. Jalan relatif lancar dan tidak ada hambatan apapun sehingga sampai di daerah Temon - Panjatan turun hujan yang memaksa saya untuk bongkar Tas untuk ambil jas hujan.
Dan setelah berjalan lebih dari 16 jam akhirnya selepas maghrib kita memasuki daerah Kulonprogo, dan kita makan malam di daerah Klepu, Kulonprogo. Dan saat makan malam itu kita putuskan untuk bermalam di Jogja, dan sepakat akan naik ke Kaliurang, cari penginapan murah. Dan sekitar jam 8 malam akhirnya kita dapat penginapan murah di Kaliurang, 50 K saja, satu kamar untuk berdua.
Pagi jam 4 bersamaan orang siap-siap sholat subuh, kita berangkat lagi turun dari Kaliurang menuju arah Pracimantoro, dengan melalui jalur Piyungan - Playen - Semanu - Ponjong. Jam 7 pagi sampai kita di pasar Pracimantoro dan sarapan Sate kambing yang lezat, cukup untuk menghangatkan perut.
Perjalanan di lanjut menuju arah Baturetno melalui Giri belah- Giri Tontro - Giriwoyo. Dan saat melintas di Giriwoyo, kami melihat di sebelah kanan jalan ada tulisan Goa Maria Ratu Kenya, dan akhirnya kita sepakat untuk mampir sekedar untuk Sembahyang.
Setelah sekitar setengah jam, kita lanjutkan perjalanan menuju ke Ponorogo. Dan jalanan menuju ponorogo ini sangat bisa di nikmati karena jalanan halus serta kelak-kelok dengan sudut yang pas sehingga kita enak aja untuk menarik kabel gas menyusuri jalanan tersebut. Setelah Ponorogo kemudian masuk daerah Trenggalek, kemudian turun ke Tulungagung, kota saya. Tapi dari kota Tulungagung masih 30 KM untuk sampai ke rumah, sehingga kita (saya terutama) dengan semangat memacu PZZO untuk segera samapai ke rumah. Dan tepat jam 12 siang, hari Jumat kita sampai dengan selamat di rumah saya, di desa Sumberagung, Kec. Rejotangan, Kab. Tulungagung Jawa Timur. Dan Odometer menunjuk angka 943KM.

Touring Ke Jawa Timur : Bagian 2

Jumat, 14 Oktober 2011

Ujung Genteng

Setelah sekian lama hanya jalan seputaran jonggol, cianjur, cipanas, maka hari Jumat malam kemarin, tetap dengan team (sebenarnya kawan jalan he..he..) kita berangkat ke Ujung Genteng, 2 motor, saya naik PZZO dan kawan saya naik MIO.
Rencana sebenarnya berangkat jam 12 malam hari Jumat tangga 14 Oktober, tapi karena temen ketiduran akhirnya berangkat jam 01.30, molor satu setengah jam. Berangkat kita dari Bojong Kulur langsung menuju ke bogor melalui jalur cibubur-cibinong-bogor-ciawi. Kemudian di Sukabumi ambil ke kanan melalui jalur biasa menuju ke Pelabuhan Ratu. Setelah menembus dinginnya malam, di temani bulan yang jernih jam 4.20 subuh memasuki wilayah Bojonggalih, dan karena kantuk yang tak tertahan, akhirnya kita putuskan istirahat sejenak, sambil menyeruput secangkir kopi.
Setelah istirahat secukupnya kita langsung melanjutkan perjalanan ke arah ujung genteng yang berjarak sekitar 77 kilometer dari pertigaan jalan raya Pelabuhan Ratu. Jalan ini cukup menantang karena penuh kelokan di tambah dengan banyaknya kerikil bekas tambalan aspal. Jam setengan pagi berhenti sebentar di kebun teh Kiara Dua, udara cukup dingin dengan angin yang lumayan kencang. Setelah foto-foto secukupnya akhirnya melanjutkan perjalanan dengan jalanan berkelak-kelok yang seperti ga ada habisnya.
Dan akhirnya jam setengah delapan pagi kita tiba di Ujung Genteng, di sambut keramaian pagi nelayan pulang melaut, dan karena masih ngantuk akhirnya saya cari tempat untuk bersandar dan memejamkan mata sejenak, karena memang sebelumnya ga sempat tidur.
Akhirnya kita mau memanjakan perut, kita cari warung yang bisa bakar ikan, dan sambil nunggu bakar ikan dan masak nasi, kita nikmati sepoi angin pantai pagi sambil ngobrol-ngobrol dengan warga setempat yang memperkenalkan diri sebagai abah Ibrahim, yang menurut pengakuannya sudah berumur 84 tahun, tapi masih tampak sehat. Sambil dia cerita kalau waktu dia muda, di ujung genteng masih banyak banteng yang kelihatan. Tapi begitu menjadi ramai dan hutan juga sudah tidak ada, maka hewan-heawan besar itu juga menghilang. Setelah makan siang ikan bakar, akhirnya kita melanjutkan perjalanan ke Curug Cikaso, yang terletak di wilayah Surade, jadi kita balik arah lagi ke arah Surade.
Dari Surade jaraknya masuk kedalam 8 Kilometer akhirnya kita sampai di curuk Cikaso, dimana untuk mencapainya harus naik perahu atau jalan kaki sejauh 500 meter menyusuri sawah. Dan ternyata curugnya dalam keadaan kering karena di daerah ini belum turun hujan. Akhirnya kita nikmati suasana dengan minum kelapa muda yang cukup segar disiang yang panas.
Jam 12 siang hari Sabtu kita berangkat lagi ke arah pulang, tetapi dengan jalur yang bebeda, yaitu kita lewat kebun teh Tugu / Cimenteng yang sebelumnya kita sama sekali belum pernah lewat atau dapat informasi seperti apa jalannya. Tapi kita memang tidak ada target waktu dan rute, maka kita ambil saja jalur tesebut.
Dan ternyata jalur ini sangat menantang dengan kelokan-kelokan yang cukup memacu adrenalin.  Tepat jam 1 siang kita mampir sejenak dedepan papan nama perkebunan teh Cimenteng.
Kemudian kita lanjutkan perjalanan ke arah sukabumi, dengan rencana rute nanti langsung ke arah Cianjur di lanjutkan ke Jonggol.
Jam 4.40 sore kita memasuki kota Cianjur dan tanpa berhenti lagi, langsung melanjutkan perjalan ke arah Jonggol, yang walaupun jalannya sudah bagus, tapi karena kita juga sudah lelah akhirnya perjalanan kita nikmati dengan santai saja, sambil di temani senja dan angin dingin pegunungan. Dan akhirnya tepat jam 8 malam saya bisa berhenti di rumah dengan selamat dengan membawa oleh-oleh pemandangan alam yang luar biasa disertai sedikit kaki keram :) dan jarak di Spido PZZO menunjukan jarak tempuh 530 Kilometer. Kapan lagi ya???( foto-foto di FB : http://www.facebook.com/media/set/?set=a.10150368778241812.378756.538386811&type=1&l=572f671e36 )

Kamis, 25 November 2010

Citorek

Sabtu, 20 November 2010

Hari ini saya melakukan perjalanan ke Banten Selatan lagi. Sebenarnya perjalanan kali ini sempet tertunda beberapa kali, karena kesibukan pekerjaan. Tapi akhirnya jadi juga setelah 2 orang teman perjalanan (saudara) mengkonfirmasi waktunya bisa semua.

Kakak saya yang satu tinggal di Bintaro, sedangkan yang satunya lagi masih satu komplek dengan saya di Villa Nusa Indah, didaerah Cikeas. Untuk memudahkan, kita janjian di sekitar Cijantung, dan akhirnya ketemuan disana jam 10 malam, lalu melanjutkan perjalanan ber tiga.

Saya mengendarai Yamaha Mio tahun 2005, motor yang memang sudah biasa saya bawa touring, 2 motor yang lain Honda Beat 2010 dan Yamaha Vega. Malam itu kami menyusuri jalan raya Bogor dari arah Cijantung, kemudian ke arah Depok lanjut ke Citayam. Di Citayam kami sempat berhenti untuk mengisi bensin.

Dari situ kita melanjutkan lagi ke arah Bogor, Ciawi ke arah Sukabumi ambil kanan setelah Cibadak ke arah Pelabuhan ratu.
Sebenarnya perjalanan kali ini kurang ideal, terutama karena musim hujan, yang menemani sepanjang perjalanan kami.

Sekitar jam 3 pagi sampailah kami di Pelabuhan ratu, dan jam segitu "kafe-kafe" di sepanjang pantai sudah mulai sepi, walaupun masih ada beberapa yang dipenuhi pengunjung dengan suara musik dangdut yang menggelegar. Setelah sedikit lihat kiri kanan, kamipun mampir di salah satu "kafe", dan kesempatan itu saya manfaatkan untuk tidur.
Jam lima subuh saya dibangunkan karena kopi yang saya pesan dari semalam sudah dingin, dan terpaksalah saya minum kopi dingin, lumayan untuk mengganjal mata yang dari semalam ngantuk sekali. Setelah membayar ke pemilik kafe, kami melanjutkan perjalan lagi ke arah Citorek.

Desa Citorek
Letak Geografis
Desa Citorek terletak di Kabupaten Lebak, Kec. Cibeber, dan mempunyai 4 wilayah adat/kasepuhan yaitu :
1. Citorek Timur yang dipimpin oleh Olot Didi
2. Citorek Barat dipimpin oleh Olot Umar
3. Citorek Tengah dipimpin oleh Olot Undikar
4. Citorek Selatan dipimpin oleh Olot Kusdi

Sejarah Citorek

Pada waktu di Lebak Singka ada Raja bernama Raja Suna, beliau membawa 2 orang keturunan Pangawinan (Pacalikan), kedua orang tersebut yaitu sepasang laki-laki dan perempuan, yang laki-laki dibawa ke Cikaret (Cisungsang, Cicarucub, dll) disebut Dulur Lalaki dan diberi bekal kemenyan, sedangkan yang perempuan dibawa ke Citorek disebut Dulur Awewe diberi bekal Panglay (kunyit besar),

Karakteristik Masyarakat Citorek

Masyarakat Citorek disebut juga dengan pangawinan kehidupannya sudah setengah modern karena jalan sudah ada, listrik dan Televisi sudah ada dan bangunan rumahnya beberapa sudah modern tetapi sebagian besar rumahnya masih asli (rumah panggung). Bahasa yang dimenggunakan bahasa Sunda, sebagian besar masyarakatnya menganut agama Islam dan setiap melakukan suatu kegiatan biasanya memakai kalender hijriah/islam, untuk itu setiap melakukan/menanam sesuatu harus membaca dua kalimat syahadat. Dalam kehidupan sosialnya menganut 3 (tiga) sistim yang di anut yaitu : Negara (jaro/lurah), Agama (panghulu), dan Karuhun (kasepuhan/kaolotan). Masyarakat Citorek sebagian besar penghidupannya dari menanam padi (nyawah), oleh karena itu masyarakat desa citorek jika ingin mempunyai istri harus bisa menanam padi. Ada hari-hari tertentu masyarakat Citorek tidak boleh melakukan kegiatan terutama di sawah yaitu hari Jumat dan Minggu, maksudnya kalau hari Jumat mereka harus melaksanakan shalat jumat, dan hari minggu mereka menghormati hari libur nasional/menghormati pemerintah. Dahulu masyarakat Citorek/pangawinan tidak boleh/dilarang memakai pakaian warna hitam, kain yang dibelah dua (semacam kain bugis), kopiah/laken, sepatu, rok/anderok , kebiasaan tersebut sekarang sudah tidak berlaku lagi, tapi kalau perempuannya sebagian besar masih memakai kain (tidak pakai rok). Setiap mengadakan perayaan selalu diiringi Goong Gede (Goong besar), goong gede ini dimainkan setahun 4 kali yaitu pada saat Ngaseuk, Mipit, Gegenek dan Seren Tahun. Goong gede terdiri dari saron, kecrek, kenong, dan kending. dimainkan oleh kurang lebih lima orang. Masyarakat Citorek sekarang sudah banyak meninggalkan tradisinya misal Neres dan Sedekah Bumi sudah tidak pernah dilakukan lagi karena masyarakatnya sudah modern dan tidak percaya kepada keyakinan leluhurnya.

Sejarah Keturunan Kaolotan/Kasepuhan

1. Kasepuhan Citorek timur pertama di pimpin oleh Aki Mardai kakek dari Oyot/Oyok Didi, setelah beliau meninggal dunia digantikan oleh anaknya bernama Oyot Ijrai, Oyot Ijrai meninggal dunia digantikan oleh anak yaitu Oyot Didi sampai sekarang.
2. Kasepuhan Citorek Barat pertama di pimpin oleh seorang santri bernama Kiai Sarkam setelah meninggal dunia digantikan oleh anaknya bernama Oyot Sartim, setelah meninggal dunia digantikan oleh adiknya bernama oyot Usup dan beliau meninggal dunia digantikan oleh cucunya bernama Oyot Umar sampai sekarang.
3. Citorek Tengah pertama di pimpin oleh Aki Saki, setelah meninggal dunia diganti oleh anaknya Aki Sali dan satu bulan yang lalu beliau meninggal dunia digantikan oleh anaknya yang masih sekolah di kelas 3 SMP bernama Aki undikar.
4. Citorek Selatan yang sekarang dipimpin oleh Aki Kusdi

Adat/Tradisi Desa Citorek

1. Neres
Neres adalah ritual yang dilakukan untuk menghilangkan penyakit masyarakat atau dilakukan jika daerah tersebut mengalami kejadian-kejadian yang merugikan, seperti menyebarnya wabah penyakit, paceklik, setiap menanam padi atau pepohonan yang hasilnya tidak bagus. Ritual ini dilakukan tidak setiap tahun tetapi sesuai dengan kejadian yang dialami.
a. Neres ada 2 yaitu :
- Neres Cai dilakukan di pinggir kali/walungan/parakan
- Neres Darat dilakukan didepan rumah masing-masing.
b. Peralatan Neres
- Rumput /Palias
- Basin/Baskom/Tobas (di isi oleh air yang muter /cai mulang dan ikan paray yang hidup).
- Sesajen (isinya Nasi kuning, dodol dll)
c. Cara-cara Neres
Neres bisa dilakukan dengan cara neres cai atau neres darat, pertama masyarakat berkumpul di pinggir kali atau di depan rumah sambil berjejer lalu kasepuhan/kaolotan memercikan air yang ada di basin oleh rumput yang telah dicelupkan ke basin tersebut beberapa kali setelah selesai air tersebut dibuang ke kali Cimadur. Sekarang Neres tidak pernah dilakukan lagi terakhir Neres dilakukan 15 tahun yang lalu, karena masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan ritual tersebut.

2. Sedekah Bumi
Sedekah bumi adalah selamatan/ruatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara menyembelih kerbau. Tujuannya agar tanah leluhurnya selalu mendapat keberkahan, selalu subur, aman dan tentram. Sedekah Bumi dilakukan 3 tahun sekali.
Caranya : kerbau disembelih , kepalanya di kubur dan dagingnya dibagikan ke masyarakat, setelah sebelumnya diadakan syukuran/selametan. Sekarang tidak pernah dilakukan lagi, terlakhir dilakukan pada waktu Jaro Nurkib kurang lebih 50 tahun yang lalu.
3. Seren taun
Seren taun adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat Citorek tiap satu tahun sekali, biasanya di bulan Syawal. Tujuannya untuk menghormati dan sebagai tanda terima kasih kepada Yang Maha Kuasa dan Leluhur yang telah memberikan keberkahan dan kesuburan. Masyarakat Citorek setiap mengadakan perayaan Sunatan/hajatan selalu dilakukan saat seren taun, perayaan sunatan dilakukan secara besar-besaran beda dengan mengadakan perayaan pernikahan dilakukan hanya dengan penghulu tanpa perayaan. Sampai sekarang Perayaan Seren taun masih dilakukan. Sebelum dilakukan perayaan Seren taun, masyarakat melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Ngaseuk
Ngaseuk adalah waktu menanam padi, dan Acara Ngaseuk biasanya dirayakan dengan menabuh Goong besar (goong gede). Pada waktu ngaseuk dilaksanakan Tanur/tandur (binih kana binih) yang biasanya dilakukan waktu Silih Mulud . Pada saat padi sudah bagus (pare geus gumuna) atau supaya padi jadi bagus masyarakat Citorek biasanya tidak memakai pupuk yang memakai bahan kimia dari luar atau tidak pernah membeli pupuk, mereka biasanya membuat pupuk sendiri yaitu dari padi yang dibikin tepung atau bikin bubur dicampur dengan kelapa muda dan gula merah.
2. Mipit
Mipit adalah perayaan di waktu panen (ngambil padi). Biasanya dirayakan dengan menabuh Goong besar (goong gede). Sebelum sawah tangtu atau sawah yang punya kokolot/kasepuhan dipanen, maka masyarakat tidak akan memanen sawahnya walaupun sawah masyarakat tersebut sampe busuk sebelum sawah tangtu di ambil harus nunggu (kajeun teuing nu kami buruk lamun sawah tangtu can kolot atau can asak ulah di ala heula). Mipit biasanya dilakukan bulan Rewah/Ruwah. Setelah dipanen disimpan di lantai atau di jemur setelah kering diangkut/direngkong, dimasukan dan didudukan ke leuit (tempat padi).
3. Gegenek / Bendrong lisung
Gegenek adalah saat numbuk padi dan dilakukan oleh ibu-ibu sebanyak kurang lebih sepuluh orang, sambil nyanyi-nyanyi/lalaguan dan diiringi oleh goong gede. Sebelum padi ditumbuk harus nganyaran/dianyaran maksudnya jika padi sudah dipanen maka harus di jemur lalu di tumbuk, tetapi sebelumnya harus mengadakan syukuran/salametan.

Seren taun di Desa Adat Citorek :

1. Nganjang/babawaan
Nganjang yaitu satu hari sebelum perayaan seren tahun (sebelum hari H) harus membawa/masrahkeun sisa hasil bumi kepada kasepuhan yang disebut ngajiwa dan biasanya di tempat Olot Didi. Hasil buminya biasanya apa saja yang mereka punya misal : padi, pisang, ternak dll. Dengan diiringi Goong Gede sambil iring-iringan.
2. Hiburan/raramean
Hiburan dilakukan pada malam hari sebelum perayaan seren taun, biasanya hiburan topeng, koromong, Angklung, dankdutan dll.
3. Memotong Kerbau
Motong kerbau dilakukan pagi hari dilakukan oleh para sesepuh/kokolot setelah itu daging tersebut yang disebut daging jiwaan dibagikan kepada seluruh masyarakat Citorek/ kepada tiap keluarga (susuhunan), semua masyarakat harus dapat bagian walaupun sedikit. Daging Kerbau tersebut dibeli dari iuran masyarakat.
4. Ziarah/ ngembangan
Ziarah ketanah leluhur atau ke karuhun.
5. Rasul serah tahun / syukuran / selametan
Syukuran dilakukan di Citorek Timur di tempat Oyok Didi, biasanya para kasepuhan/kokolot, jaro, panghulu berkumpul sambil makan-makan dan musyawarah.
6. Hajatan/Sunatan
Kebiasaan masyarakat Citorek jika akan mengadakan perayaan sunatan selalu dilakukan sekalian pada saat seren taun, dilakukan setelah selametan/syukuran.
7. Kariyaan/mulangkeun ka kolot
Penutup acara sambil menabuh Goong gede, mereka menyebut acara asup leuweung menta kahirupan maksudnya mulai ke kehidupan rutinitas, masyarakat mulai kerja seperti biasa ada yang pergi kerja ke kota atau ke sawah.


Sumber dari: http://www.bantenculturetourism.com

Ternyata perjalanan ke Citorek tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Jalanan berbatu adalah jalan satu-satunya dan merupakan tantangan tersendiri.

Jembatan-jembatan kayu seperti ini juga beberapa kali harus kami lewati.
Salah satu plang tanda Taman Nasional Gunung Halimun yang kami lewati
Sebagian besar jalan berbatu yang kami lalui
Pose di atas jembatan
Jalan aspal yang masih di daerah Cisolok, sebelum masuk ke Citorek








Bagaimanapun juga perjalanan kali ini memberikan kesan tersendiri. Dan setelah menempuh perjalan kurang lebih 24 jam, 350 km perjalanan, hari Minggu tanggal 21 jam 9 malam kami meamsuki wilayah Tangerang, saya melanjutkan perjalanan ke Meruya Jakarta barat, transit ke rumah mertua, satu kakak saya melanjutkan perjalanan ke Bekasi dan yang satunya lagi pulang ke Bintaro.

Senin, 02 Agustus 2010

(Bermaksud) Ikut Serentaun


Hari sabtu, 31 Juli 2010.

Seren TaunHari ini untuk yang kedua kalinya saya mau menghadiri Serentaun di Ciptagelar, setelah yang pertama 2 tahun yang lalu.

“Seren Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang dilakukan tiap tahun. Upacara ini berlangsung khidmat dan semarak di berbagai desa adat Sunda, seperti Desa Kenekes Baduy, Desa Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Kampung Naga, dan Desa Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Upacara adat sebagai syukuran masyarakat agraris ini diramaikan ribuan masyarakat sekitarnya, bahkan dari beberapa daerah di Jawa Barat dan mancanegara.”

Waktu itu saya berdua bersepeda motor, mengambil jalur Bogor - Leuwiliang - Kebun teh Nirmala - Cipetey - Gn Halimun - Ciptagelar.

Semula perjalanan lancar, sampai di Cipetey jam 4 sore, dilanjut masuk areal hutan lindung gunung Halimun. Jalan basah dan berlumpur didalam hutan merupakan tantangan utama. Dan tepat jam 8 malam akhirnya kita menyerah, karena perjalanan kurang 10 kilo lagi, tapi tenaga kita sudah habis terkuras.

Setelah berdiskusi berdua, kita putuskan untuk meninggalkan motor di tengah hutan, dan kita kembali ke perkampungan dengan jalan kaki dan hanya berbekal penerangan dari handphone.
Setelah 1 jam berjalan akhirnya sampai diperkampungan, dan dengan bantuan penduduk setempat, motor berhasil dievakuasi. Akhirnya malam itu juga kita putuskan untuk balik pulang, ikutan seren t aun gagal!

Tahun ini, bebekal pengalaman lalu, kita ganti jalur, melalui Bogor - Sukabumi - Pelabuhan Ratu - Cikakak - Sirnarasa - Ciptagelar. Sari tempat tinggal saya, Bekasi, ke pelabuhan ratu kita tempuh dalam waktu 5 jam. Jam 6 sore, setelah istirahat sejenak, kita lanjut ke Ciptagelar, walaupun disertai hujan rintik-rintik.

Walaupun begitu, di sela-sela kabut masih terlihat keindahan alam yang luar biasa, kombinasi sempurna antara perbukitan dan hijaunya pepohonan. Sekitar jam 7 malam, sampailah saya di desa Sirnarasa, cikakak yang berjarak kurang lebih 30 km dari Palabuhanratu, ibukota Kabupaten Sukabumi, desa ini berada pada ketinggian antara 700–1.000 m dpl.

Dan disini saya mengalami sedikit kecelakaan (walaupun sebenarnya bisa sangat fatal), dimana saya terpeleset saat melewati jembatan yang sedang diperbaiki, dan hanya di pasang 2 lembar papan kayu. Dan beruntung saya, badan saya terdangkut di pinggiran papan, sehingga posisi saya menggantung dengan motor menimpa tubuh saya, dan 3 meter dibawah saya, jelas sekali saya dengar suara aliran air sungai berbatu. Dengan bantuan penduduk setempat saya berhasil di angkat bersama sepeda motor saya, dengan hanya luka lecet dan lebam.

Dan setelah mengucapkan terimakasih, dan berbasa basi sebentar, saya melanjutkan perjalanan menuju Ciptagelar yang kurang lebih tinggal 10 km lagi. Motor kita geber menaiki jalanan berbatu, yang sangat licin karena terus di guyur hujan. Namun setelah kurang lebih berjalan 2 km, kedua motor kami overheating sehingga kehilangan tenaga. Dengan sisa-sisa tenaga kita coba melanjutkan perjanan, tetapi apa hendak dikata, tenaga motor kami habis, demikian juga tenaga kami. Walaupun dalam guyuran hujan, tubuh saya serasa terbakar.

Dan sekali lagi, dengan berat hati kami memutuskan kembali turun, dengan perasaan dan badan yang remuk redam. Dan untuk kedua kali, kesempatan saya ikut Seren Taun kali ini, gagal!

Kemudian kami memacu motor kami menembus malam, menuruni gunung menuju Pelabuhan Ratu lagi, mencari tempat nongkrong yang nyaman, karena kebetulan hari ini malam minggu. Dan kami berdua menikmati malam di Pelabuhan Ratu dengan segala hingar bingar hiburan malamnya (dikesempatan lain saya akan ceritakan), dan tepat jam 3 subuh meluncur pulang.

Semoga tahun depan bisa sukses ikutan Serentaun!